Posted: April 2, 2013 in Movies, Review
Tags: Alex Russell, Alexandria Morrow, Andrew Niccol, Boyd Holbrook, Chandler Canterbury, Diane Kruger, Emily Browning, Frances Fisher, Jake Abel, Lee Hardee, Max Irons, Movies, Phil Austin, Raeden Greer, Review, Saoirse Ronan, Scott Lawrence, The Host, William Hurt
Stephenie Meyer memulai masa kejayaannya ketika seri novel The Twilight Saga
(2005 – 2008) yang ia tulis diadaptasi ke layar lebar oleh Hollywood.
Meskipun kebanyakan bagian film seri tersebut mendapatkan kritikan tajam
dari kritikus film Hollywood – khususnya akibat dialog maupun deretan
adegan romansa cheesy yang terus mewarnai film seri tersebut, lima seri film The Twilight Saga
(2008 – 2012) berhasil meraih kesuksesan komersial luar biasa dengan
total pendapatan sebesar lebih dari US$3 milyar serta menjadi sebuah pop culture phenomenon bagi banyak kalangan muda. Tentu saja… ketika Meyer kemudian merilis The Host
(2008) – yang pada dasarnya masih merupakan sebuah novel bertema kisah
cinta segitiga namun hadir dengan balutan penceritaan bernuansa science fiction
yang lebih dewasa, Hollywood jelas tidak akan melewatkan kesempatan
untuk mengulang kembali kesuksesan luar biasa tersebut begitu saja.
Namun… can the lightning really strikes the same place twice?
Disutradarai oleh Andrew Niccol (In Time, 2011) yang juga bertanggung jawab untuk penulisan naskah film ini, The Host
berlatar belakang lokasi di planet Bumi pada masa yang akan datang.
Dikisahkan, Bumi telah diambil alih oleh para makhluk asing dari luar
angkasa yang dikenal dengan sebutan “Souls” dengan cara memasuki setiap
tubuh manusia yang mereka temui. Salah satu manusia yang menjadi korban
mereka adalah seorang gadis yang bernama Melanie Stryder (Saoirse
Ronan), yang berhasil ditangkap oleh seorang makhluk asing luar angkasa
yang dikenal dengan sebutan Seeker (Diane Kruger) dan kemudian
menginfiltrasi tubuh gadis tersebut dengan sesosok makhluk asing luar
angkasa berusia lebih dari seribu tahun yang disebut dengan Wanderer
guna mencari tahu dimana lokasi kumpulan manusia lain yang masih belum
berhasil mereka kuasai tubuhnya.
Wanderer memang kemudian menjalankan
tugasnya – dengan mengakses jalan pemikiran Melanie, ia mengetahui bahwa
Melanie masih memiliki seorang adik, Jamie (Chandler Canterbury),
kekasih, Jared Howe (Max Irons), serta paman, Jeb Stryder (William
Hurt), yang kesemuanya masih berwujud manusia. Namun, berkat perlawanan
jiwa Melanie yang tetap terperangkap di tubuh tersebut, Wanderer mulai
merasakan berbagai hal yang selama ini belum pernah ia rasakan: sisi
emosional manusia. Penasaran dengan seluruh gejolak perasaan yang ia
rasakan, Wanderer kemudian setuju untuk mengeluarkan Melanie dari
tahanan Seeker dan membawanya ke orang-orang yang ia kenali. Namun,
Seeker ternyata mengetahui rencana Wanderer dan Melanie. Bersama dengan
seluruh pasukan makhluk asing luar angkasa lainnya, Seeker mulai mencari
keberadaan Wanderer dan Melanie dan berniat untuk menyingkirkan mereka.
Dengan film-film seperti Gattaca (1997) S1m0ne (2002) serta In Time berada di dalam daftar filmografinya, rasanya tidak mengherankan untuk melihat ketertarikan Andrew Niccol pada jalan cerita science fiction bernuansa romansa yang ditawarkan oleh Stephenie Meyer lewat The Host. Dan harus diakui, terlepas dari obsesi Meyer untuk tetap terus menghadirkan kisah cinta segitiga dalam jalan ceritanya, The Host memiliki substansi cerita yang lebih padat dan berisi jika dibandingkan dengan seri manapun dari The Twilight Saga. The Host
mampu menjadi cermin sosial bagi kehidupan manusia di masa modern:
bagaimana manusia mampu berbuat jahat terhadap sesamanya demi keuntungan
pribadi atau justru terlalu terobsesi untuk melakukan sebuah tujuan
(yang dianggap) mulia namun ternyata justru menyakiti orang lain. Sounds too philosophical? The Host
memang tidak secara gamblang menyajikan hal tersebut namun Niccol mampu
menghadirkannya lewat subteks yang tersebar melalui deretan dialog
maupun adegan di film ini.
Terlepas dari berbagai filosofi maupun tampilan desain cerita science fiction yang disajikan oleh film ini, The Host
tetap adalah sebuah kisah cinta segitiga: dua orang gadis yang
terperangkap pada tubuh yang sama namun jatuh cinta pada dua sosok pria
yang berbeda. Dan sayangnya, justru di bagian inilah The Host
terasa sangat bertele-tele dalam bercerita. Pada kebanyakan bagian,
konsep kisah cinta segitiga tersebut tidak pernah benar-benar mampu
tergali dengan adu argumen antara karakter Melanie dan Wanderer tentang
sosok pria yang mereka sukai dihadirkan dalam porsi penceritaan yang
terlalu besar serta dialog-dialog konyol yang justru akan membuat banyak
penonton menjadi tersenyum daripada merasakan sisi romantis kisah cinta
tersebut.
Di sisi lain, Niccol juga gagal untuk menggali lebih dalam karakter-karakter maupun jalan cerita yang ingin ia hadirkan. The Host
sama sekali tidak pernah memberikan ruang yang cukup bagi pengenalan
latar belakang siapa para makhluk asing luar angkasa yang menyerbu Bumi
tersebut: mengapa mereka membenci kekerasan dan di saat yang sama justru
merebut sesuatu yang bukan merupakan milik mereka. Niccol juga terasa
begitu tergesa-gesa dalam mengeksekusi jalan cerita film ini. Perubahan
sikap beberapa karakter dihadirkan dalam alur yang terlalu cepat
sehingga gagal untuk menghadirkan kisah yang logis kepada penonton.
Memang, film memberikan batasan yang lebih sempit jika dibandingkan
dengan novel untuk menghadirkan ruang penjelasan yang lebih mendalam.
Namun, tentu saja, Niccol seharusnya tahu lebih banyak cara untuk
menyederhanakan kisah yang telah dituliskan oleh Meyer dan
menyesuaikannya untuk jalan penceritaan sebuah film.
Keunggulan utama film ini jelas terletak
pada jajaran pengisi departemen aktingnya. Nama-nama seperti William
Hurt, Frances Fisher, Diane Kruger, Max Irons dan Jake Abel mampu
menghadirkan penampilan akting yang jelas tidak mengecewakan dalam
menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Namun, penampilan
paling prima dalam film ini jelas hadir melalui penampilan pemeran utama
film ini, Saoirse Ronan. Ronan mampu dengan baik memerankan dua
karakter dengan kepribadian yang bertolak belakang melalui penggunaan
aksen bahasa yang berbeda. Interaksi antara dua karakter yang ia
perankan benar-benar terasa kuat bahkan emosional di beberapa bagian. Chemistry
yang ia jalin dengan para pemeran lainnya juga mampu hadir meyakinkan
dan semakin memperkuat kualitas departemen akting film ini.
Pada kebanyakan bagian presentasinya, The Host seringkali akan mengingatkan penontonnya pada kualitas film arahan Andrew Niccol sebelumnya, In Time: sama-sama memiliki konsep science fiction
futuristik dengan sentuhan sosial yang sangat menarik namun kemudian
gagal mendapatkan penggalian yang lebih mendalam dari sisi cerita maupun
karakterisasinya. Kegagalan tersebut kemungkinan besar terjadi karena
fokus yang terlalu besar pada kisah romansa segitiga yang terjadi kepada
para karakter utama film ini sehingga seringkali terasa menyingkirkan
plot cerita lain – yang sebenarnya lebih menarik – untuk dapat
berkembang dalam jalan penceritaan The Host. Meskipun begitu,
lewat kualitas tata produksi yang apik serta bantuan penampilan jajaran
pengisi departemen akting yang kuat, Niccol setidaknya masih mampu
menggarap The Host menjadi sebuah drama romansa bernuansakan science fiction yang menarik untuk diikuti.
The Host (2013)
Directed by Andrew Niccol Produced by Stephenie Meyer, Paula Mae Schwartz, Steve Schwartz, Nick Wechsler Written by Andrew Niccol (screenplay), Stephenie Meyer (novel, The Host) Starring Saoirse Ronan, Jake Abel, Max Irons, Chandler Canterbury, Frances Fisher, Diane Kruger, William Hurt, Boyd Holbrook, Scott Lawrence, Lee Hardee, Phil Austin, Raeden Greer, Alexandria Morrow, Emily Browning, Alex Russell Music by Antonio Pinto Cinematography Roberto Schaefer Editing by Thomas J. Nordberg Studio Chockstone Pictures/Nick Wechsler Productions/Silver Reel Running time 125 minutes Country United States Language English
Tidak ada komentar:
Posting Komentar