Well… just in case you desperately need a reminder: it’s 2013, folks!
Tahun dimana dunia film horor telah melewati masa dimana salah satu
perwakilannya berhasil memenangkan kategori Film Terbaik di ajang
Festival Film Indonesia atau ketika penonton Indonesia dikejutkan oleh
satu keluarga yang gemar memakan daging manusia atau ketika seorang
sutradara kelahiran Medan terus menerus memberikan inovasi baru dalam
mempresentasikan setiap kisah horornya.
But then… there’s Jose Poernomo. Seorang sutradara yang namanya mungkin akan terus dikenang sebagai salah satu otak pengarahan dari film horor Indonesia legendaris, Angkerb… maaf, Jelangkung (2001). Lebih dari satu dekade berlalu, Jose ternyata masih gemar untuk mengeksplorasi lokasi-lokasi yang dianggap mistis di berbagai belahan wilayah Indonesia sebagai tema penceritaan filmnya. Yang terbaru… Jose berusaha menghadirkan kisah mistis dari KM 97, sebuah titik di Jalan Tol Jakarta-Bandung yang dikenal juga dengan wilayah Cipularang dimana banyak terjadi kecelakaan di tempat tersebut.
But then… there’s Jose Poernomo. Seorang sutradara yang namanya mungkin akan terus dikenang sebagai salah satu otak pengarahan dari film horor Indonesia legendaris, Angkerb… maaf, Jelangkung (2001). Lebih dari satu dekade berlalu, Jose ternyata masih gemar untuk mengeksplorasi lokasi-lokasi yang dianggap mistis di berbagai belahan wilayah Indonesia sebagai tema penceritaan filmnya. Yang terbaru… Jose berusaha menghadirkan kisah mistis dari KM 97, sebuah titik di Jalan Tol Jakarta-Bandung yang dikenal juga dengan wilayah Cipularang dimana banyak terjadi kecelakaan di tempat tersebut.
Pun begitu… jelas Jose memiliki alasan tersendiri untuk bertahan dalam menyajikan tema-tema yang berulang dalam filmnya. Hey… film terakhirnya yang dirilis tahun lalu dan berjudul Rumah Kentang berhasil
mendapatkan lebih dari 400 ribu penonton. Jelas, film-film dengan tema
tersebut masih menjadi formula kuat untuk dijual ke pasaran penonton
Indonesia. Sayangnya, Jose sepertinya tidak lagi memiliki kemampuan
untuk mengolah maupun mendapatkan naskah cerita yang layak untuk
diberikan apresiasi lebih. Film-film yang ia sajikan terus menghadirkan
alur kisah yang serupa namun hanya dengan lokasi kisah yang berbeda.
Melelahkan? Tentu saja!
Dalam KM 97, Jose kembali berkolaborasi dengan penulis naskah, Hilman Mutasi, yang dahulu menuliskan naskah Angkerbatu (2007) dan baru saja sukses besar dengan film 5 cm
(2012). Filmnya sendiri berkisah mengenai pasangan Anton (Restu Sinaga)
dan Lidya (Feby Febiola) yang bersama putera tunggal mereka, Bintang
(Zidane), melakukan perjalanan Bandung untuk menemui ayah Anton, Sucipto
(August Melasz), setelah keduanya gagal menghadiri acara pemakaman ibu
Anton (Henny Timbul). Sial, setelah melalui perjalanan yang melelahkan,
kedatangan Anton dan Lidya justru disambut dengan dingin oleh sang ayah.
Sikap dingin yang ditunjukkan Sucipto
sendiri muncul memang karena masih merasa kecewa akibat ketidakhadiran
Anton pada pemakaman ibu kandungnya sendiri. Ia juga tidak begitu suka
pada Lidya yang ia anggap jauh dari harapannya untuk memiliki seorang
menantu keturunan Jawa yang masih mengerti adat istiadat leluhurnya.
Mengingat hal tersebut, Anton acapkali mengingatkan Lidya untuk bersabar
menghadapi ayahnya. Namun, tekanan dari Sucipto semakin membuat posisi
Lidya menjadi tak nyaman. Ini masih ditambah dari gangguan arwah
gentayangan yang sepertinya terus-menerus menghantui Lidya selama berada
di rumah itu. Puncaknya, Anton dan Lidya kemudian menemukan bahwa ada
sebuah kekuatan supranatural jahat yang ternyata berusaha untuk
menyelinap masuk dalam kehidupan mereka berdua.
Jalan ceritanya sendiri berjalan dengan
sesuai ekspektasi: sejumlah karakter mengalami aktivitas paranormal,
kehidupan mereka mulai terganggu, sedikit berlari dan teriak
kesana-kemari sebelum akhirnya mereka memutuskan berniat untuk melawan
kekuatan paranormal tersebut. Klise… dan Jose Poernomo juga tidak
melakukan banyak hal untuk meningkatkan kualitas penceritaan Hilman
Mutasi tersebut. KM 97 jelas jauh dari kesan menakutkan. Pada
kebanyakan bagian, film ini berjalan dengan datar dengan ritme
penceritaan yang juga membuatnya menjadi semakin kurang menarik untuk
disimak. Layaknya Rumah Kentang, kualitas minimalis penceritaan KM 97 kemudian berusaha ditutupi Jose melalui kualitas tata produksinya.
Dan harus diakui, meskipun tidak istimewa, kualitas tata produksi KM 97
yang lumayan kuat adalah satu-satunya yang mampu menjadi pembeda
kualitas film ini dengan kebanyakan film horor kacangan Indonesia yang
banyak dirilis dalam beberapa tahun terakhir. Tampilan tata
sinematografi hingga tata rias dan rambut mampu memberikan kesan
meyakinkan terhadap jalan cerita yang diusung. Pun begitu, rasanya tidak
akan ada seorangpun yang tidak merasa terganggu dengan tata musik
arahan David Poernomo di sepanjang presentasi film ini. David sepertinya
sadar bahwa jalan cerita film ini cenderung berjalan sangat datar.
Hasilnya, David memberikan tata musik yang begitu meledak-ledak… dan
akan mampu mengganggu organ pendengaran setiap penonton. Sangat
mengganggu!
Dan yah… begitulah. KM 97 hanyalah
sebuah presentasi lain dari Jose Poernomo mengenai sebuah lokasi
bernuansa mistis legendaris di Indonesia yang, sayangnya, sama sekali
gagal untuk dapat menjelaskan mengapa lokasi tersebut layak disebut
menakutkan. KM 97 tampil dengan kualitas medioker secara
keseluruhan: mulai dari tata penceritaannya, alur pengisahannya hingga
kualitas tampilan akting para pengisi departemen akting filmnya.
Satu-satunya yang membuat film ini tidak berada pada kelas yang setara
dengan film horor kacangan Indonesia lainnya adalah kemampuan Jose untuk
menyajikan kisahnya dengan tata produksi yang cukup mumpuni – meskipun
tata musiknya jelas akan terasa sangat mengganggu. Medioker.
KM 97 (2013)
Directed by Jose Poernomo Produced by Hedy Suryawan, Uce Rayamaja Written by Hilman Mutasi Starring Febby Febiola, Restu Sinaga, August Melasz, Zidane, Iang Dharmawan, Tya Maria, Fitrie Rachmadhina, Elsa Diandra, Henny Timbul, Gary Iskak, Nanny N Music by David Poernomo Cinematography Jose Poernomo Editing by Aristo Pontoh, Vincentius Jo Arya Studio Arcadia Productions Running time 82 minutes Country Indonesia Language Indonesian
Sebuah resensi film yang bermanfaat, mantap mas bro
BalasHapus