7 Apr 2013

Review: Lost in Papua (2011)

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis sutradara Lost in Papua, Irham Acho Bachtiar, tertulis bahwa tujuan sederhana dari pembuatan Lost in Papua adalah “untuk menunjukkan keunikan dan kekayaan wisata budaya di Papua Selatan serta segala misterinya yang belum pernah Anda lihat.”

Sebuah tujuan yang sangat mulia, tentu saja, mengeksplorasi keindahan alam luas Papua yang selama ini jarang disentuh oleh banyak pembuat film Indonesia. Tujuan yang mulia tersebut dilakukan Irham lewat film cerita, dan bukan dokumenter, dengan “kemasan yang dibuat lebih ringan dan bersifat hiburan dengan genre komersil, sehingga budaya yang disampaikan akan masuk ke anak anak muda yang sebelumnya tidak tertarik melihat budaya Indonesia.

” Ringan? Hiburan? Komersil? Dengan apa yang dipaparkan Irham lewat film ini — yang berjalan dengan kisah yang semakin absurd ke penghujung filmnya, Lost in Papua lebih tepat digambarkan sebagai sebuah bencana berbentuk film yang diselimuti dengan keindahan alam Papua.
Salahkan hal tersebut pada penulis naskah film ini, Ace Arca dan Augit Prima, yang semenjak awal seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan jalan cerita film ini. Tidak sepenuhnya buruk, sebenarnya. Lost in Papua justru dimulai dengan sangat baik. Dibuka dengan adegan berunsur thriller yang melibatkan penampilan terbaik Edo Borne yang ia lakukan hanya selama 10 menit, Lost in Papua kemudian memperkenalkan penonton dengan karakter utama film ini,

Nadia (Fanny Fabriana), yang ditugaskan oleh pemimpin perusahaannya, Pak Wijaya (Didi Petet), untuk berangkat ke Papua. Dan berbagai kelemahan film ini mulai terkuak satu persatu.
Pertama, sebelum memberikan penilaian buruk terhadap seluruh unsur pendukung film ini, mari memberikan selamat kepada Fanny Fabriana yang berhasil hingga penghujung film memberikan kemampuan akting yang sangat prima, terlepas dari berbagai adegan konyol dan tidak masuk akal yang ia lakukan. Saudara-saudara sekalian, jika Anda membutuhkan satu alasan untuk mengeluarkan uang dan menyaksikan Lost in Papua,

 maka Fanny Fabriana adalah alasan tersebut. Fanny berhasil memerankan sosok wanita yang kehilangan kekasihnya di awal film, berusaha untuk mencarinya di tengah-tengah hutan rimba yang kejam, berlari-lari menghindari kematian hingga harus melayani nafsu seorang kepala suku kanibal (yang berjenis kelamin wanita) dengan sangat anggun. Seluruh adegan tersebut melibatkan berbagai tampilan emosi dan Fanny mampu mengeluarkan setiap sisi emosi tersebut dengan sempurna. Bravo, Fanny!
Sekarang, mari kembali ke Lost in Papua secara keseluruhan. Seperti halnya Laskar Pelangi (2008) atau Denias, Senandung di atas Awan (2008), Irham Acho Bachtiar memutuskan untuk menggunakan pemeran pendukung dan figuran yang berasal dari tanah Papua untuk menjaga rasa orisinalitas jalan cerita film ini. Sayangnya, tidak seperti para sutradara dua film yang disebutkan sebelumnya, Irham masih belum memiliki kemampuan untuk mengeluarkan sisi akting terbaik dari para pemerannya yang notabene belum pernah terlibat dalam dunia peran sebelumnya. Hasilnya, banyak adegan yang seharusnya melibatkan permainan emosional yang mendalam menjadi terbuang begitu saja dan berjalan datar. Sangat datar.
Masalah masih datang dari jalan cerita Lost in Papua yang berjalan semakin menuju penghujung cerita, semakin dipenuhi dengan kisah-kisah yang absurd, kurang begitu dapat diterima akal sehat (terlepas bahwa ini adalah sebuah film) dan berjalan kontradiktif dengan jalan cerita di adegan yang sebelumnya telah dipaparkan. Contoh kecil: Nadia ditugaskan oleh pemimpin perusahaannya ke Papua untuk melakukan survey lokasi. Pernahkah penonton melihat Nadia melakukan tugasnya? Tidak. Nadia justru kemudian berangkat ke hutan untuk mencari jejak sang kekasih.

Apakah Nadia merasa tertekan dengan fakta bahwa ia kehilangan sang kekasih? Pada beberapa adegan memang digambarkan begitu (walau sesaat setelah ia mengenang sedih sang kekasih, sesaat kemudian Nadia seperti siap untuk berpesta, namun tetap saja karakter Nadia masih sempat bersenang-senang, berjalan-jalan dan berbelanja sebelum memasuki wilayah hutan tempat kekasihnya hilang dan yang dikabarkan angker itu.  

Toh rasa kehilangan sang kekasih tersebut tak membuat Nadia lupa untuk tidak menjalin hubungan dengan beberapa pria yang ada di dalam jalan cerita. Hal-hal tersebut masih beberapa hal yang terkesan aneh dalam penceritaan film ini. Anda masih harus melalui berbagai adegan lainnya yang tak kalah absurd-nya, seperti, sebut saja, sekelompok pria yang diculik oleh sebuah masyarakat suku kanibal dan menyiksa mereka dengan menjadikan mereka sebagai “pejantan?”

Ya… dan seluruh penonton bioskop tertawa dengan lebar. Maaf, saudara Ace Arca dan saudara Augit Prima. Pengaruh menonton film-film asing bertema kanibal itu tak seharusnya saudara masukkan di film Lost in Papua dengan porsi cerita yang terlalu mengada-ada seperti ini.
Sebagai sebuah film yang bertujuan “untuk menunjukkan keunikan dan kekayaan wisata budaya di Papua Selatan serta segala misterinya yang belum pernah Anda lihat,” Lost in Papua beberapa kali mengajak penontonnya untuk melihat keindahan alam budaya Papua, dengan menunjukkan beberapa lokasi wisata di Papua serta beberapa pertunjukan budaya khas masyarakat tradisional Papua.

Apakah mengesankan? Sayangnya tidak. Penonton yang mengharapkan sajian sinematografi alam luas papua yang dipenuhi keindahan luar biasa harus siap-siap gigit jari. Sementara pertunjukan budaya yang ditampilkan terkesan tak lebih dari sekedar gimmick belaka yang gagal berpadu dengan jalan cerita yang diberikan. Oh ya, dalam pernyataan yang masih ditulis oleh sang sutradara, ia juga ingin “mencoba menempatkan pariwisata dan budaya etnik ke dalam sebuah susunan kemasan cerita komersil.” Film horor asing, Hostel: Part II (2007),

pernah menggunakan teknik yang sama dengan menggunakan negara Slovakia sebagai latar belakangnya. Dan jujur saja, dengan apa yang digambarkan di film itu, hingga saat ini mungkin Slovakia (atau seluruh negara Eropa dengan mana berakhiran –kia) akan dihindari banyak wisatawan. Walaupun fiktif, gambaran para suku yang menetap di Papua seperti yang ada di dalam Lost in Papua tidak akan memberikan hasil yang lebih baik daripada apa yang dihasilkan Hostel: Part II.
Lost in Papua juga dikabarkan menjadi sebuah film yang mendapatkan perlakuan tidak adil dari Lembaga Sensor Film dengan cara beberapa adegannya dipotong dari jalan cerita. Entah benar atau tidak, namun teknik editing film Lost in Papua adalah salah satu teknik editing film yang paling buruk yang pernah terlihat. Begitu kasar dan selalu hadir secara mendadak menghilangkan esensi cerita, khususnya di 45 menit akhir film ini. Terlepas dari teknik editing tersebut, 45 menit terakhir Lost in Papua menjadi bagian terburuk film ini juga karena jalan cerita yang tadinya berjalan dengan ritme lamban, secara mendadak berjalan dengan kecepatan tinggi dengan arah yang tak menentu untuk mempercepat proses datangnya ending cerita.
Entah apa yang sebenarnya ingin dikisahkan oleh Lost in Papua. Apakah film ini ingin memberikan gambaran mengenai indahnya alam Papua? Lalu kenapa tata sinematografi film ini sama sekali tidak memikat? Apakah film ini ingin mengenalkan budaya masyarakat Papua? Dengan tampilan yang singkat dan sama sekali tak mampu terintegrasi dengan jalan cerita utama membuat berbagai kesenian yang ditampilkan menjadi sekedar tempelan belaka. Sebuah film drama? Sama sekali tidak menyentuh dan mengikat penontonnya.  

Action? Adegan berlari-lari di hutan dan gambaran perseteruan beberapa karakter dapat disebut action? Horor? Jika Anda mengkategorikan diculik oleh sebuah kelompok suku wanita kanibal untuk dijadikan “pejantan” maka Lost in Papua adalah sebuah film horor. Secara sekilas, seluruh unsur tersebut terdapat di film ini. Secara keseluruhan, unsur-unsur tersebut hadir tanpa mampu dieksplorasi dengan baik dan membuat Lost in Papua menjadi sebuah ruang hampa sepanjang 90 menit yang tanpa emosi, datar, dan berbagai variasi kata lain untuk menggambarkan sebuah film yang membosankan. Poin untuk film ini sepenuhnya diberikan pada keberanian pemilihan Papua sebagai latar belakang film dan Fanny Fabriana yang tetap tampil memikat di film buruk ini.
Catatan: Nama Fauzi Baadilla sama sekali tidak disebut di sepanjang review karena ia tampil “sempurna” sebagai seorang “bajingan.” Hampir seperti tidak berusaha sama sekali. Tunggu, ia tampil dengan ekspresi yang sama di setiap adegan. Dan itu berhasil menghidupkan karakternya sebagai seorang “bajingan” dengan baik.

Jika Anda tidak dapat menangkap nada sarkasme dalam kalimat tersebut maka mungkin akan lebih baik untuk menyebut Fauzi Baadilla sama sekali tidak berakting di sepanjang di film ini. Dia adalah seorang “bajingan” secara alami dan Anda akan membenci setiap kehadirannya di berbagai adegan di film ini.

Lost in Papua (Nayacom Mediatama/Merauke Enterprice Production, 2011)
Lost in Papua (2011)
Directed by Irham Acho Bahtiar Produced by Naynie Ardiansyah, Iwan Trilaksana Written by Ace Arca, Augit Prima Starring Fanny Fabriana, Fauzi Baadilla, Piet Pagau, Didi Petet, Edo Borne, Petrus Taro Gebze, Vicky Egu, Nila Septian, Dody Mahuze Music by Uyung Mahagenta Cinematography Brama Yudha P Editing by Andhy Pulung, Augit Prima Studio Nayacom Mediatama/Merauke Enterprice Production Country Indonesia Language Indonesian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar